Rashomon

Sewaktu saya berkesempatan mengikuti pertukaran pelajar selama setahun di Universitas Tokyo, Jepang, saya mengambil kelas Japanese Literature. Salah satu kegiatan kelas adalah menonton film yang pada waktu itu adalah film Rashomon karya Akira Kuroshawa. Untuk pertama kalinya saya menonton film ini walaupun berkali-kali film ini saya rekomendasikan kepada banyak pelanggan Sketsa, sebuah rental film tempat saya bekerja dulu.

Anyway, film itu bercerita tentang proses pengadilan tepatnya hearing process dan fact finding (legally context speaking) sebuah kasus pembunuhan seorang laki-laki dari kelas atas. Ada beberapa orang yang menjadi saksi. Tojamaru seorang perampok terkenal, istri korban, seorang tukang kayu yang kebetulan lewat (kalau tidak salah) dan si korban sendiri. Ya! Si korban sendiri atau tepatnya arwahnya.

Tojamaru, istri korban, si tukang kayu, dan arwah korban, mereka semua diminta untuk memberi kesaksian tentang peristiwa itu. Masing-masing punya versi sendiri dan tidak ada yang bisa membuktikan bahwa versi yang satu benar atau versi yang lain salah. Masing-masing kesaksian mereka berbeda di bagian yang mereka anggap penting. Bagian-bagian itu menggambarkan harga diri, kehormatan, dan integritas sesuai dengan interpretasi posisi sosial mereka masing-masing; perampok, lelaki bangsawan, istri bangsawan, dan seorang tukang kayu miskin.

Semua kisah ini diceritakan oleh si tukang kayu kepada dua orang temannya (salah satunya seorang biksu) di kuil Rashomon (kuil besar di Kyoto) waktu hujan deras. Tukang kayu bersikeras bahwa versi Tajomaru, istri korban, dan korban adalah bohong. Dia melihat semua kejadian dengan matanya sendiri. Singkatnya dia tahu kebenarannya dan karena itulah dia juga berbohong di pengadilan. Dia tahu seluruh cerita dan dia tahu ke mana perginya pedang kecil bermutiara indah milik istri korban. Ya… ke tangannya karena itulah ia berbohong di depan pengadilan.

Tiba-tiba suara tangis bayi menghentikan pembicaraan mereka. Seorang bayi terbungkus kimono mahal tergeletak di sudut kuil itu. Salah satu teman tukang kayu tadi dengan cepat segera bergerak dan merampas kimono mahal yang membungkus si bayi. Tukang kayu dan biksu marah dan mengutuk perbuatan si teman tadi.

Temannya tadi menjawab, "Apakah aku lebih buruk dari orang tuanya yang membuang bayi itu? Semua orang sekarang bertindak sesuai kepentingannya sehingga mereka bisa bertahan hidup. Kalau begitu apakah aku salah? Apakah aku lebih buruk dari kau, seorang pembohong dan pencuri? Kau apakan pedang kecil berharga itu, huh?!" Kira-kira begitulah perkataan si teman tadi. Lalu dia pergi meninggalkan biksu, tukang kayu, dan si bayi.

Tukang kayu lalu berusaha mengambil si bayi dari tangan biksu temannya. Tapi si biksu tak lagi percaya, pandangan matanya menyiratkan kecurigaan penuh.

"Anakku ada enam, satu lagi tidak akan masalah bagiku" kata tukang kayu. Raut wajahnya menyiratkan ketulusan. Pupuslah kecurigaan si biksu. Sembari minta maaf dia menyerahkan bayi itu ke tangan si tukang kayu.

"Aku memang orang yang terendah dari yang terendah" katatukang kayu. "Tidak, setelah bertemu denganmu aku melihat secercah harapan di dunia" begitulah jawab si biksu. Lalu si tukang kayu pun berlalu sambil menggendong si bayi disambut matahari yang kembali bersinar seusai hujan.

Itulah kira-kira inti dan akhir dari film Rashomon (di versi prosa, ending yang terakhir tidak ada. Itu semua hanya tambahan dari sutradara). Semua yang menonton film itu bisa mengerti bahwa di adegan terakhir tersebut sutradara ingin menyampaikan sebuah pesan. Pesan bahwa walau dunia memang buruk dan semakin buruk, kita masih punya harapan. Orang-orang tidak seburuk yang kita sangka dan mereka semua masih memiliki kebaikan di hatinya. Hujan deras pun akan selesai dan matahari pun akan bersinar lagi. Pesan itu sangat jelas tergambarkan di film tersebut.

Yang membuat saya shock dan kaget adalah seorang teman berkata bahwa dia tidak melihat adanya pesan seperti itu tergambar dalam film tersebut.

"Aku tidak melihat sutradara itu menyampaikan pesan tentang harapan di film tersebut. Semuanya kabur dan penuh dengan keputusasaan" katanya.

Saya kaget karena menurutku pandangan objektif manapun akan dengan jelas melihat pesan tersebut tergambarkan. Mengapa teman saya ini tidak? Apakah kesinisannya terhadap kebaikan manusia sedemikian menguasai dia? Bahkan optimisme yang sedemikian jelas tergambarkan pun bisa terlihat kabur bahkan hilang dari matanya? Apakah dia hanya berusaha melihat dari perspektif lain? Saya takut dan menggigil seperti ada hembusan angin dingin melewati tengkuk saya.

Seperti inikah sosok-sosok yang menghuni bumi ini sekarang? Bagaimana bisa berharap mereka melakukan kebaikan tulus dan memiliki harapan bila untuk mengenalinya saja mereka sudah tidak sanggup lagi. Di film sekalipun dimana pengembangan karakter, ruang, dan waktu yang dibatasi. Bahkan teroris dan bencana alam tidak semenakutkan kenyataan dingin ini.

0 comments:

Post a Comment