Stigma, Hambatan untuk Berkawan

Writer: Ardi Nuswantoro
Contributor: Chandra Siagian
Edited by Clara Siagian
will be published in 1st ed. of Rumah Impian Buletin
english translation to come ^^


Stigma, Hambatan Untuk Berkawan

Stigma adalah pencelaan terhadap karakteristik personal. Sebagai tahap awal bagi munculnya marjinalisasi dan diskriminasi, stigma menjadi sebuah hukuman berat bagi mereka yang terpaksa mempertahankan hidup di jalanan.


Belakangan, anak jalanan di Yogyakarta semakin menjamur. Kemunculan mereka menambah semrawutnya lalu lintas kota dengan wujud dekil, kostum kotor, dan bau yang kadang tidak mengenakkan. Jalan-jalan raya dipenuhi mereka mencari uang di jalanan dengan berbagai cara seperti menjadi pengamen, pengelap kendaraan, penyemir sepatu, penjual koran, bahkan beberapa disinyalir menjadi penjaja seks komersial. Lalu bagaimana masyarakat melihat keberadaan mereka?


Meningkatnya jumlah anak jalanan setiap tahun ini diakui oleh Aris Merdeka Sirait, aktifis Komnas Perlindungan Anak dalam wawancara dengan Radio Netherland beberapa tahun lalu. Data Dinas Sosial Kota Bandung pun memperkuat kenyataan ini. Pada tahun 2007 menyebutkan angka 4200 untuk jumlah anak jalanan terdaftar di kota ini. Tahun 2008, jumlah berlipat ganda menjadi 8000 anak. Secara keseluruhan, berdasarkan data tahun 2003, jumlah anak jalanan di Indonesia secara keseluruhan mencapai lebih dari 50.000 anak.


Lain Bandung, lain pula Jogja. Meskipun jumlah anak jalanan di kota ini lebih kecil, pertumbuhannya tetap saja mengkhawatirkan. Dinas Sosial memperlihatkan data lama jumlah anak jalanan Jogja yang mencapai 245 anak pada tahun 1997. Setelah krisis ekonomi terjadi, jumlah ini meningkat tajam mencapai 1373 pada tahun 1999 (hasil pendataan Tim Asistensi kerjasama Universitas Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial). Data lama tersebut memperlihatkan pertumbuhan anak jalanan yang mencapai 500 persen ketika krisis terjadi. Artinya, kemungkinan pertambahan akan selalu ada mengingat beban hidup yang harus ditanggung setiap keluarga miskin kota juga semakin berat setiap tahun.


Lepas dari tanggung jawab orang tua, berbagai cara lalu dilakukan anak jalanan untuk mempertahankan hidup. Beragam cara mulai dari pengamen, pengelap kendaraan, penyemir sepatu, penjual koran, bahkan penjaja seks komersial adalah cara yang biasa dilakukan untuk mencari sesuap nasi. Tentu saja, cara tersebut adalah cara yang dipandang rendah oleh sebagian besar masyarakat.


Soal tempat berlindung, bermacam jenis tempat pun mereka gunakan. Sembilan puluh satu kantong anak jalanan hasil survei Dinas Sosial tahun 1999 adalah tempat berlindung yang memperkuat stigma. Lihat saja, mereka berlindung di emperan toko, kuburan, rumah kardus, terminal, stasiun, bahkan lokalisasi. Dari cara hidup seperti ini, stigma pun muncul dan berkembang.


Stigma yang muncul seakan membenarkan berbagai teori tentang stigma sosial. Berbagai literatur memperlihatkan bagaimana karakteristik dan tingkah laku personal adalah modal utama stigma. Melirik kembali pada karakteristik dan tingkah laku personal anak jalanan, maka wajar jika kemudian stigma muncul.


Lalu seperti apakah stigma anak jalanan di mata masyarakat ? “Anak jalanan itu jorok, kotor, gatrus.terjerumus ke dalam dunia gelap gitu” kata Karib, Mahasiswa Psikologi UGM ketika ditanya tentang anak jalanan. Pengakuan tersebut setidaknya mewakili berbagai stigma negatif yang berkembang dalam masyarakat tentang anak jalanan. berpendidikan, kurang kasih sayang orang tua,


Menjadi anak jalanan bukanlah hukuman seumur hidup. Dengan bantuan dan fasilitasi dari berbagai pihak, anak jalanan bisa keluar dari dunia gelap mereka. “Kalo mereka dikasih kesempatan untuk berkembang bisa jadi baik kok" ujar Karib menyelipkan harapan.


Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Wani, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum UGM. Wani mengungkapkan bahwa semua anak jalanan memiliki bakat unik. “Bahwa bakat anak jalanan yang difasilitasi akan memperbaiki kualitas hidup mereka.” ujar Wani. Pengakuan Wani dan Karib ini memang menyelipkan harapan bagi anak jalanan.


Harapan Wani dan Karib membenarkan survei yang dilakukan oleh Christian Children Fund terhadap sejumlah anak jalanan. Menurut CCF, 70 persen anak jalanan yang mereka wawancarai masih memiliki mimpi untuk menyelesaikan bangku sekolah. Sementara itu, 60 persen anak jalanan masih bermimpi untuk meninggalkan jalanan. Namun stigma memang sudah terlanjur menjadi diskriminasi. Alhasil, kesempatan anak jalanan untuk melanjutkan kehidupan normal dibayang-bayangi dan dihambat stigma masyarakat.


Stigma adalah perlakuan yang terlalu menghakimi bagi anak jalanan. Dengan stigma, anak jalanan secara tidak langsung telah dikeluarkan dari struktur masyarakat. Anak jalanan kemudian dilihat sebagai makhluk asing atau ekses sistem sosial yang sebenarnya tidak diharapkan kehadirannya. Padahal, jika ditelusur lebih dalam, anak jalanan bagaimana pun juga adalah anak-anak, dan stigma telah berperan sebagai pembunuh karakter bagi mereka. Stigma yang melekat dalam jangka waktu panjang akan mengalami internalisasi, sehingga korban stigma pada akhirnya akan melihat dirinya sejalan dengan stigma yang ada padanya. Begitu pun anak jalanan, yang notabenenya masih berada dalam usia perkembangan menuju kedewasaan.


Bagi masyarakat, stigma yang berkembang akan mempengaruhi respon masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan. Lebih jauh, program dari berbagai LSM pun akan tersendat ketika masyarakat enggan berpartisipasi. Sementara itu LSM pun kerap menggiatkan kegiatan yang hanya bertitik tolak dari pemahaman stigma yang sempit dan hanya bertujuan memperbaiki pandangan negatif masyarakat. Di sisi lain, stigma juga mempengaruhi respon anak jalanan terhadap berbagai program yang dijalankan. Setidaknya, penolakan dan ketidakpercayaan adalah respon standar anak jalanan.


Berbeda dengan Wani, Asri berpendapat lain. Menurut mahasiswa Psikologi UGM ini, anak jalanan muncul salah satunya karena eksploitasi orang tua. "Makin banyak anak jalanan, karena makin banyak orang 'murah hati', yang membuat orang tua mereka mengeksploitasi itu" kata Asri. Pendapat Asri ini kemudian dibenarkan oleh Slamet, penarik becak yang sudah hampir 15 tahun mangkal di perempatan pingit. Menurut Slamet, beberapa orang tua sering terlihat menunggui anaknya mengemis di perempatan. “Bahkan ada juga yang bapaknya punya motor bagus tapi anaknya disuruh ngemis” kata Slamet[1].


Di jalanan, banyak para pengguna jalan yang kesal terhadap keberadan anak jalanan. “Mereka mengganggu lalu lintas. Anak-anak jalanan yang masih kecil menjadikan jalan sebagai tempat bermain. Jika tertabrak lalu pengguna jalan yang disalahkan” ujar Wakijan[2], seorang tukang becak tua di Jetis. Menurut Wakijan, kecelakaan memang sudah terjadi beberapa kali di perempatan tersebut.


Pengguna jalan seperti Slamet dan Wakijan mungkin sudah tidak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Menurut Slamet, beberapa anak jalanan yang masih kecil memang sengaja diperalat orang tua untuk mencari uang. “Biasanya mereka ditunggu orang tua” ujar Wakijan. Keadaan ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat anak-anak hakekatnya memiliki hak untuk penghidupan dan pendidikan seperti yang tertulis di Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia sejak Oktober 1989. “Mereka hanyalah korban orang tua yang tidak bertanggung jawab” ujar Wakijan menyesali keadaan.


Sebagai tukang becak, Slamet mengungkapkan kekesalannya terhadap anak jalanan yang beranjak dewasa. Hal ini beralasan karena sebagian besar anak jalanan yang beranjak dewasa kemudian menjadi preman. Slamet menyayangkan otak dan tenaga kuat mereka yang sebenarnya bisa dipakai untuk memperbaiki hidup. “Anak muda yang berpikiran sehat pasti memikirkan jalan bagaimana keluar dari jalanan” ujarnya.


Menurut Slamet, sudah menjadi pemandangan umum di Pingit jika setiap malam preman-preman nongkrong menghabiskan waktu mereka. “Mereka hanya luntang-lantung ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Mereka hanya senang hura-hura. Jika ada uang lebih, mereka minum-minum, lalu masyarakat pun terganggu” ujar Slamet yang mulai jengah terhadap keberadaan anak jalanan.


Perbedaan umur memang kadang kemudian menjadi pembeda karakteristik anak jalanan. Anak jalanan yang masih kecil memang memancing simpati sebagian masyarakat. Seperti diungkapkan Asri, anak jalanan kecil tampak sebagai korban tidak bertanggung jawabnya orang tua. Sementara itu, keberadaan anak jalanan dewasa terkadang memunculkan kekesalan tersendiri. Seperti pengakuan Slamet, anak jalanan dewasa hanya memperlihatkan kemalasan.


Stigma masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan bukanlah tak beralasan. Pengakuan beberapa orang telah menegaskan stigma anak jalanan. Akan tetapi, benarkah anak jalanan adalah anak nakal, kotor, susah diatur, korban orang tua, dan sampah masyarakat?



[1] Slamet – parsidi – tukan becak pingit 1970, temanggung, 15 tahun mbecak

[2] Wakijan – tukilan tukang becak jetis, 1943, gunung kidul, 30 tahun menjadi tukang becak

0 comments:

Post a Comment