Wisuda dan Pak Guru



Akhirnya saya lulus dan datanglah upacara itu. Wisuda kawan, wisuda. Wisuda berarti menghadapi tetek bengek yang sama sekali tidak esensial karena tanpa wisuda pun saya sudah lulus. It’s the ceremony thing. Wisuda sebenarnya bagi saya lebih berarti hajatan untuk membanggakan orang tua secara seremonial dan sekalian ibu dan bapak akan datang ke Jogjakarta. Maklum selama empat tahun di sini belum sekali pun disambangi keluarga.

Sedihnya, ibu saya terancam tidak bisa datang karena masih menunggu jadwal diklat untuk sertifikasi guru. Jadwalnya masih belum jelas dan bisa saja diumumkan beberapa hari sebelum hari wisuda saya. Jadilah saya gregetan menunggu dan berdoa tiap hari sembari mempersiapkan diri untuk kecewa ibu saya tak bisa datang. Buat ibu saya yang guru sertifikasi itu penting. Dengan sertifikasi itu ibu saya diakui secara profesional sebagai tenaga pendidik juga diakui dan diberikan hak-haknya terutama tunjangan profesi yang besarnya sama dengan gaji pokok.

Sebenarnya guru harusnya tak perlu menunggu dan melewati proses sertifikasi untuk mendapatkan pengakuan profesionalitasnya dan kontra prestasi yang selayaknya. Ibu saya termasuk beruntung, dia masih punya akses untuk mengikuti diklat sertifikasi. Dia juga beruntung menyandang gelar strata satu sehingga lebih mudah untuk mengikuti proses sertifikasi. Namun kemudian benak saya melayang ke ratusan mungkin ribuan guru yang hanya lulusan SPG (setara D3) atau malah hanya lulusan SMP dan SMA. Beberapa dari mereka ceritanya terdengar melalui media.

Miris melihat masih banyak pengajar yang bisa dibilang “mendadak guru” karena keterpaksaan keadaan. Sebuah potret pendidikan Indonesia yang carut marut. Ironis karena sering kali guru-guru dadakan yang mengajar karena keprihatinan ini justru lebih memiliki dedikasi daripada yang menyandang gelar-gelar keprofesionalan. Sulit membayangkan guru di pedalaman hutan Tapanuli yang aslinya adalah penjaga sekolah mendapatkan sertifikat pengakuan profesionalitasnya. Sementara itu begitu banyak guru terutama terutama sekolah negeri yang mapan di kota sebenarnya dedikasi dan profesionalitasnya perlu dipertanyakan dengan mudah mendapatkan sertifikasi. Tak bisa mengajar mungkin, tapi tak mau mengajar, seringkali ya.

Akan tetapi, cerita guru di Indonesia bukanlah sesederhana guru hitam dan guru putih. Ada guru abu-abu yang berdiri di tengah pragmatisme hidup dan dedikasi profesi. Mereka berjalan dengan mengkompromikan kedua hal tersebut. Seberapa condong mereka ke satu sisi itu relatif dan kembali ke interpretasi orang yang melihat.

Adalah Pak Din guru agama saya sewaktu SMA. Dia adalah guru yang paling intens berinteraksi dengan saya maklum saya gini-gini dulu sekretaris Persekutuan Pelajar Kristen di sekolah negeri yang paling bergengsi (karena banyaknya anak pejabat di sekolah saya) dan paling kacau balau di Medan(juga karena banyak anak pejabat). Dia juga adalah guru yang paling saya benci, yang saya paling tidak hormati di antara banyak guru lain yang saya juga tidak hormati (dulu saya arogan sekali tapi believe me I had good reasons for that). Bagi saya dia adalah simbol ketidakbecusan guru dan sekolah saya. Guru agama kok korup, kok mengeksploitasi murid, kok makan kas organisasi, dan kok kok lain.

Pak Din seringkali menggelapkan sejumlah dana yang dipasrahkan kepadanya. Tak ada rincian pengeluaran dan tak pernah bersisa. Padahal itu uang rakyat, persembahan anak-anak yang mengikuti ibadah. Pak Din juga acap kali mengeksploitasi organisasi kami demi mendapatkan rupiah. Pernah ketika kami akan mengadakan retreat dia memaksa kami menganggarkan dana untuk honorarium dia sebagai pendamping sebesar 500.000 atau dia tidakakan membubuhkan tanda tangannya sebagai pembina. Lima ratus ribu tidak sedikit mengingat selama empat hari tiga malam retreat itu berlangsung, dia tidak ada di retreat kami.

Saya kesal, ingin berontak, dan sekaligus tidak berdaya. Semakin sering saya berinteraksi dengannya semakin saya kehilangan respect dan semakin saya membencinya. Saya lalu bandingkan ibu saya yang juga mengajar setingkat SMA. Dia tidak pernah memakan uang apalagi memanipulasi apa pun untuk uang. Seringkali dia harus mengutang kepada salah satu paman pengusaha toko buku untuk asupan buku bagi murid-muridnya.

Saya ingat pernah suatu hari ibu saya yang hamil tua pulang naik becak membawa setumpuk buku-buku yang diikat tali. Buku-buku itu dari toko paman saya yang karena ikatan saudara memberi potongan harga yang lumayan. Sebenarnya buku itu tersedia di sekolah tapi harganya lebih mahal (which is confusing me) jadinya ibu saya mencari alternatif cara lebih murah menghadirkan buku untuk murid-muridnya. Buku itu akan dicicil oleh muridnya selama satu tahun ajaran tapi akhirnya selalu sama, hanya dua puluh persen dari muridnya yang akan membayar buku itu lunas di akhir tahun ajaran.

Saya ceritakan Pak Din ke ibu saya, berharap ibu menyetujui dan kami bisa sama-sama mengutuki pak guru saya itu. Alih-alih mengiyakan saya dan membandingkan dirinya dengan Pak Din, ibu malah menegur saya. Hidup guru itu susah, katanya. Gajinya sedikit sekali tapi tuntutannya tinggi.

Ibu saya menganalogikan gaji guru setara dengan gaji kondektur bis tapi dia harus rajin beli safari dan buku, makan di kantin yang lumayan mahal, belum lagi lipstik dan sebagainya, sementara kondektur bis tak perlu baju bagus dan buku. Guru berjuang dalam wadah yang juga menjual image dan citra pada tingkat tertentu dan tentu saja membangun citra perlu biaya.

Mendengar penjelasan ibu, saya lalu menelusuri riwayat Pak Din. Ayahnya juga seorang guru agama jadi rasanya profesi dia sebagai guru bisa jadi paksaan dari ayahnya. Sewaktu saya kelas tiga, Pak Din baru saja diterima sebagai guru tetap berpangkat IID, sebelumnya bertahun-tahun dia hanyalah guru honorer. Anaknya dua orang yang mungkin lahir dari pertimbangan ekonomis sementara itu istrinya seorang ibu rumah tangga. Ketika saya bertandang ke rumahnya, saya semakin terenyuh.

Rumah Pak Din kecil dan sempit. Anaknya yang juga adik kelas saya menempati ruang kecil yang disekat triplek sedangkan dia, istrinya dan anak perempuannya tidur di satu kamar yang kecil. Menurut pengakuan teman yang dekat dengannya, Pak Din tak pernah mengundang rekan-rekan gurunya datang ke rumah. Namun sebaliknya dia menyesalkan sedikitnya anak muridnya yang berkunjung ke rumahnya. Mungkin hanya di depan muridnya dia sedikit bisa tampil apa adanya atau mungkin itu suatu bentuk penghargaan murid yang dia harapkan?

Perlahan-lahan seiring kedewasaan saya, saya mulai memahami sikap Pak Din yang pragmatis dan oportunis. Saya juga tidak protes ketika ibu saya menyelipkan uang lima puluh ribu ke kantong Pak Din karena sudah menunggui proses ijazah saya. Saya juga tetap ingat permintaannya untuk membelikan istrinya daster dan saya menolak uang penggantinya.

Kehidupan kadang kali tak sesederhana yang kita bayangkan. Saya percaya ada begitu banyak jawaban dan alasan untuk pertanyaan kecil yang kita ajukan. Bagi saya Pak Din adalah cermin proses pelapangan batin untuk pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tak seperti yang saya harapkan. Pak Din adalah cerita pergulatan seorang guru dalam hidupnya karena saya yakin alasan utama perilakunya karean dia juga ingin melihat anak-anaknya lebih baik dari dia, melihat anaknya memakai toga di podium ITB sana.

0 comments:

Post a Comment