Sophie: A Tale of Love and Violence

You must leave him. He’ll only hurt you’

‘No, I love him. You don’t understand love, Clara! If you do, you wouldn’t break up with your ex just because afraid of being hurt’

Saya tersentak. Begitulah percakapan saya dan teman saya, Sophie* berakhir. Usaha saya meyakinkan Sophie untuk meninggalkan pacarnya yang tidak hanya mentally tapi juga physically violent, membentur tembok.

Sophie adalah seorang perempuan Fiji yang bekerja sebagai asisten administrasi di RRRT (Regional Rights Resource Team), tempat saya magang selama tiga bulan. Usianya tak jauh beda dari saya. Walaupun tak punya gelar segudang, Sophie, menurut saya benar-benar cerdas. Sophie seringkali mematahkan argumen saya (yang di-back up oleh teori-teori yang saya pelajari) dengan menunjukkan dimensi lain yang saya tak pernah pikirkan.

Percakapan ini terjadi di minggu pertama 2012. Seminggu sebelumnya, di hari pertama ngantor, Sophie datang dengan beberapa luka di wajahnya. Salah satu matanya biru. Alasannya, dia terjatuh dari tangga. Dan saya percaya. Mungkin itulah alasan mengapa besoknya Sophie bercerita tentang pacarnya ke saya. Dari saat itu saya tahu betapa kasarnya pacar Sophie, George. Saat itu Sophie mengutarakan niat untuk berpisah dari pacarnya. Saya mendukung.

Selang beberapa hari kemudian Sophie absen dari kantor. Supervisor saya menanyakan keberadaannya karena saya dinilai dekat dengan Sophie. Respon saya, ‘hello, you know her for years already’. Tapi katanya, Walaupun semua staf mahfum dengan kasarnya George, Sophie tak pernah bercerita tentang George kepada siapapun kecuali saya. Saya panik. Saya telepon sana-sini (hp sophie disita George). Mulai dari ibunya, neneknya (Sophie anak tunggal of an amazing single mom), temannya, semua tanpa hasil. Besoknya Sophie kembali ke kantor, kali ini mengutarakan niatnya untuk menikah dengan George.

Setelah percakapan itu saya kembali ke meja kerja dan harus menulis laporan tentang bagaimana undang-undang dapat mengurangi angka kekerasan terhadap perempuan. Yeah, right!! Di depan saya adalah Sophie yang mengerti tentang HAM, gender, feminisme dan bekerja di LSM yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Dan satu kata, cinta, a mere feeling, bisa menegasikan semua hal itu. Hari itu saya merenung panjang.

Sophie, tentu saja, tak sendiri. Di Pasifik, termasuk Fiji, kekerasan fisik terhadap perempuan dialami oleh tak kurang dari 68 persen perempuan (UNWOMEN 2011). Jangan tanya tentang kekerasan mental (Tak hanya perempuan sebenarnya. Saya punya seorang teman dekat pria yang pernah terjebak in a mentally abusive relationship). Banyak LSM, termasuk RRRT mengusahakan berbagai strategi untuk mengurangi angka ini dan mengadvokasi hak asasi perempuan. Tapi apalah arti semua ini, jika sebagian besar hak perempuan dinegosiasikan dalam ranah privat, seperti hubungan romantis atau keluarga. Dan seringkali solusi yang diberikan membebani, mendiskreditkan dan menyalahkan perempuan yang menjadi korban. Seperti Sophie pernah bertanya pada saya, ‘Do you think I am stupid for falling in love with George?’

Tapi ini tidak hanya terjadi di Pasifik yang terkenal dengan budaya patriakisnya**. Di Australia, saya berteman Nicole yang memiliki partner yang mentally abusive. Nicole tak diperbolehkan bekerja padahal Nicole sangat menyadari potensinya. Partner-nya merasa tersaingi, begitu observasi Nicole. Nicole memutuskan untuk bercerai. Sebuah kesempatan bekerja di ANU memaksanya untuk memilih. Berat. Nicole membawa Terry, putrinya, hijrah ke Canberra, dan harus rela terpisah dari Damien, putranya yang memutuskan tinggal dengan ayahnya di Brisbane.

Selain Nicole, saya juga berteman dengan Allison yang memutuskan berpisah dari suaminya, setahun setelah anak pertama (dan satu-satunya) lahir. Sekarang putranya berusia 12 tahun, dan teman saya ini tetap single sampai sekarang. Lagi-lagi berat. Tapi ini tak memudarkan niatnya untuk mengaktualisasikan diri. Malahan, being single, menurutnya memudahkan dia untuk mengejar mimpi-mimpinya dan tinggal di banyak negara, mulai dari Cina, Amerika, hingga kini Australia. She’s a qualified nurse and social worker with law and public policy degree. What could be more? And in doing so, she provides her son with a lot of great experiences.

Tapi tanya mereka, apakah keputusan untuk meninggalkan abusive partner itu mudah? A big NO is what you get. Butuh bertahun-tahun dan kesempatan emas di ANU untuk Nicole berani bercerai. Butuh sakit hati berkepanjangan dan dukungan keluarga untuk Gladys berani berpisah. Tanya mereka, seberapa dalam perasaan mereka kepada partner-nya? Chances are, they will say, ‘Of course I love him’.

Jika Nicole dan Gladys berakhir dengan manis, saya belum tahu apa yang bakal terjadi dengan Sophie. Karena takut kehilangan kepercayaannya (nantinya kalau ada apa-apa dengan dia, Sophie tak mau cerita lagi), saya berusaha menerima kehadiran George. Beberapa kali kita clubbing, saya dan seorang teman lain harus rela ‘dikawal’ oleh George dan bermanis-manis ria karena jika tidak, Sophie harus menanggung konsekuensinya. Di farewell party saya, George hadir. Betapa saya ingin mengatakan ‘Leave her alone’, but instead I said, ‘Please treat her well’.

Saya masih harus belajar banyak. Dulu, saya selalu percaya bahwa manusia itu rasional dan kalkulatif (no wonder I never work out my relationship :P). Namun, Sophie memaksa saya untuk meredefinisikan perspektif saya. Seperti kala itu, Sophie menunjukkan bahwa feelings, no matter how irrational they might be, are integral part of human decision.

*Semua nama adalah nama samaran

**Ada beberapa yang berargumen definisi budaya patriakis yang umum digunakan sangat simplistik. Perempuan Samoa misalnya mempunyai power yang besar tergantung posisinya di dalam sebuah klan. Segregasi public and private juga memberikan keuntungan buat mobilitas perempuan dan menentukan peran krusial mereka dalam masyarakat. Intinya kalau perempuan mogok masak, tak ada pekerjaan public yang bisa terselesaikan. Banyak yang berpendapat urbanisasi dan industrialisasi-lah yang menciptakan ruang kekerasan thd perempuan.