Seorang teman mengajak saya untuk jadi tamu 'on air' di sebuah radio swasta Jogja. Temanya tentang perempuan atau wanita (sama sajalah kecuali anda seorang fanatik diskursus kajian budaya), menyambut Hari Kartini yang secara tak resmi (tak tertera di kalender) diperingati besok 21 April. Bingung karena bakal disandingkan dengan beberapa orang yang CV-nya lebih menjual dari saya dan hmm... mungkin suaranya jatuh lebih empuk di telinga pendengar. Namun, ok-lah sebagian dari saya berkata kenapa tidak?!
Hari Kartini... basi dan klise? Mungkin sekali, saya tidak bisa bilang tidak setuju. Hari yang telah dilumatkan hanya sebatas seremonial dan simbolisasi monoton tak berkembang. Yang paling sibuk di Hari Kartini adalah anak-anak TK setengah dipaksa berias dan berdandan ala ibu darma wanita dengan kebaya dan wiron. Yang laki-laki sama saja bedanya mereka memakai pakaian untuk laki-laki. Dan anehnya ini diamini sebagai upaya menanamkan semangat perjuangan Kartini. Sungguh tidak masuk akal. Selain anak TK, ibu-ibu pejabat juga akan sibuk membuat acara yang sama sekali tidak substansial dengan memakai kebaya baru tiap tahunnya. Demi memperingati Kartini katanya. Yang terlihat oleh saya hanyalah pameran dan kompetisi busana yang semakin mempertegas prejudis bodoh, wanita hanya bisa bersolek!!
Saya tidak anti bersolek dan tidak anti kebaya, nyatanya saya memakai kebaya di dua kali hari kelulusan. Perempuan perlu cantik, kenapa tidak. Tapi bukan "perempuan-perlu-cantik-saja" yang dewasa ini disempitkan dengan serangkaian indikator khas inferioritas negara bekas jajahan; putih, tinggi langsing, rambut lurus (sebagian diwarnai kebule-bulean), dada besar dan menonjol, hidung mancung, dan lainnya. Apa yang terjadi di Hari Kartini semakin memperkuat hal tersebut. Memang dia terbungkus nasionalisme, tapi lagi-lagi nasionalisme sempit dan sedikit munafik yang diwakili oleh kebaya dan baju adat lainnya. Kita kan sedang merayakan semangat Kartini bukan Bhineka Tunggal Ika.
Kartini memang dalam tiap foto yang kita miliki tentangnya memakai kebaya tapi karena di eranya, kebaya adalah pakaian sehari-hari, casual wear!! Hanya saja kita biarkan visual kita mendikte pikiran. O itu Kartini dalam kebaya, jadi memperingatinya haruslah dengan kebaya. Salah besar!!! Saya yakin Kartini tidak akan keberatan dengan perkembangan busana (mungkin dia sedikit mendukung pula karena memakai kebaya atau baju adat manapun sangat merepotkan). Dia pasti tak mengapa bila kita memperingati semangatnya dengan memakai jins dan kaos biasa. Perempuan bukanlah apa yang dipakainya bukan??
Hari Kartini... dari penamaannya saja hari ini sangat bertendensi mereduksi maknanya. Ok kita cukup bangga hanya ada satu nama pahlawan dalam hari-hari besar Indonesia dan itu dipersembahkan pada seorang perempuan. Namun, coba pikirkan betapa sempit kata Hari Kartini tersebut. Pikiran kita harus berpikir dua kali, mengingat Kartini lalu mengidentikannya dengan semangat emansipasi perempuan. Itu pun kalau Kartini mengaungkan itu di pikiran kita. Kebanyakannya yang pertama terlintas setelah mendengar Hari Kartini adalah imaji dan fotonya dengan sanggul dan kebaya Jawa dan ini terus menerus direproduksi dan dilatenkan melalui perayaan semacam tadi. Inilah akibatnya terlalu mengidolisasikan figur. Yang tertinggal hanya foto dan atribut bukan tulisan, bukan pemikiran.
Coba bandingkan dengan 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional adalah hari lahirnya Ki Hajar Dewantara dan tidak dinamai Hari Ki Hajar Dewantara, kalau tidak peringatan 2 Mei akan menjadi parade orang-orang memakai songkok. Atau 10 November sebagai Hari Perang di Surabaya bukan Hari Pahlawan, bisa-bisa semasa sekolah setiap peserta upacara diwajibkan memakai pakaian militer dan memanggul senjata. Bisa gawat, karena hari indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme semakin sempit menjadi hari indoktrinasi militerisme. Weleh...weleh...
Jadi, bagaimana seharusnya Hari Kartini itu menurut saya? Pertama, bagaimana kalau menyebutnya Hari Perempuan saja atau Hari Kesetaraan? Lebih kena sasaran, universal, mudah dimengerti, dan sulit dipusingkan dengan atribut-atribut tak penting (paling tidak sampai masyarakat kita kembali ke hobinya dengan simbol dan atribut). Kartini (lagi-lagi menurut saya) tidak akan keberatan bila namanya perlahan-lahan luruh seiring terserapnya citra dan ikonisasi dirinya dalam sebuah semangat emansipasi yang menebal.
Yang kedua, bagaimana kalau di tingkat TK, kita sudahi saja pemakaian kebaya dan parade pakaian adat itu? Pindahkan ke Hari Kemerdekaan (itu juga dengan catatan tanpa paksaan, namanya juga merdeka -jadi catatan juga untuk pakaian rapi lengkap setiap upacara 17 Agustus) atau buat hari lain, Hari Budaya atau apalah (lagi-lagi tanpa paksaan). Cukup anak-anak TK baik yang perempuan dan laki-laki mengikuti acara masak bersama, atau mencuci baju bersama, atau main bola bersama, atau memaku pigura bersama. Acara-acara yang bisa memusnahkan konsep pekerjaan dan gender role yang seksis dan diskriminatif.
Tingkat sekolah yang lain juga bisa menerapkan hal yang sama. Berkunjung ke dapur restoran misalnya, melihat begitu banyak koki berkelamin laki-laki atau mewawancarai ibu-ibu tukang parkir, mas-mas perawat, bencong, atau apalah. Banyak hal bisa dilakukan untuk meruntuhkan bangunan gender yang mengekang itu. Atau dari pada sekedar menghapalkan nama kumpulan surat-surat pemikiran Kartini, mengapa tidak membaca, menganalisis, mengkritisi, dan mengapresiasinya?
Sehingga, habis gelap terbitlah terang...
0 comments:
Post a Comment