Stigma, Hambatan untuk Berkawan

Writer: Ardi Nuswantoro
Contributor: Chandra Siagian
Edited by Clara Siagian
will be published in 1st ed. of Rumah Impian Buletin
english translation to come ^^


Stigma, Hambatan Untuk Berkawan

Stigma adalah pencelaan terhadap karakteristik personal. Sebagai tahap awal bagi munculnya marjinalisasi dan diskriminasi, stigma menjadi sebuah hukuman berat bagi mereka yang terpaksa mempertahankan hidup di jalanan.


Belakangan, anak jalanan di Yogyakarta semakin menjamur. Kemunculan mereka menambah semrawutnya lalu lintas kota dengan wujud dekil, kostum kotor, dan bau yang kadang tidak mengenakkan. Jalan-jalan raya dipenuhi mereka mencari uang di jalanan dengan berbagai cara seperti menjadi pengamen, pengelap kendaraan, penyemir sepatu, penjual koran, bahkan beberapa disinyalir menjadi penjaja seks komersial. Lalu bagaimana masyarakat melihat keberadaan mereka?


Meningkatnya jumlah anak jalanan setiap tahun ini diakui oleh Aris Merdeka Sirait, aktifis Komnas Perlindungan Anak dalam wawancara dengan Radio Netherland beberapa tahun lalu. Data Dinas Sosial Kota Bandung pun memperkuat kenyataan ini. Pada tahun 2007 menyebutkan angka 4200 untuk jumlah anak jalanan terdaftar di kota ini. Tahun 2008, jumlah berlipat ganda menjadi 8000 anak. Secara keseluruhan, berdasarkan data tahun 2003, jumlah anak jalanan di Indonesia secara keseluruhan mencapai lebih dari 50.000 anak.


Lain Bandung, lain pula Jogja. Meskipun jumlah anak jalanan di kota ini lebih kecil, pertumbuhannya tetap saja mengkhawatirkan. Dinas Sosial memperlihatkan data lama jumlah anak jalanan Jogja yang mencapai 245 anak pada tahun 1997. Setelah krisis ekonomi terjadi, jumlah ini meningkat tajam mencapai 1373 pada tahun 1999 (hasil pendataan Tim Asistensi kerjasama Universitas Atmajaya Jakarta dan Departemen Sosial). Data lama tersebut memperlihatkan pertumbuhan anak jalanan yang mencapai 500 persen ketika krisis terjadi. Artinya, kemungkinan pertambahan akan selalu ada mengingat beban hidup yang harus ditanggung setiap keluarga miskin kota juga semakin berat setiap tahun.


Lepas dari tanggung jawab orang tua, berbagai cara lalu dilakukan anak jalanan untuk mempertahankan hidup. Beragam cara mulai dari pengamen, pengelap kendaraan, penyemir sepatu, penjual koran, bahkan penjaja seks komersial adalah cara yang biasa dilakukan untuk mencari sesuap nasi. Tentu saja, cara tersebut adalah cara yang dipandang rendah oleh sebagian besar masyarakat.


Soal tempat berlindung, bermacam jenis tempat pun mereka gunakan. Sembilan puluh satu kantong anak jalanan hasil survei Dinas Sosial tahun 1999 adalah tempat berlindung yang memperkuat stigma. Lihat saja, mereka berlindung di emperan toko, kuburan, rumah kardus, terminal, stasiun, bahkan lokalisasi. Dari cara hidup seperti ini, stigma pun muncul dan berkembang.


Stigma yang muncul seakan membenarkan berbagai teori tentang stigma sosial. Berbagai literatur memperlihatkan bagaimana karakteristik dan tingkah laku personal adalah modal utama stigma. Melirik kembali pada karakteristik dan tingkah laku personal anak jalanan, maka wajar jika kemudian stigma muncul.


Lalu seperti apakah stigma anak jalanan di mata masyarakat ? “Anak jalanan itu jorok, kotor, gatrus.terjerumus ke dalam dunia gelap gitu” kata Karib, Mahasiswa Psikologi UGM ketika ditanya tentang anak jalanan. Pengakuan tersebut setidaknya mewakili berbagai stigma negatif yang berkembang dalam masyarakat tentang anak jalanan. berpendidikan, kurang kasih sayang orang tua,


Menjadi anak jalanan bukanlah hukuman seumur hidup. Dengan bantuan dan fasilitasi dari berbagai pihak, anak jalanan bisa keluar dari dunia gelap mereka. “Kalo mereka dikasih kesempatan untuk berkembang bisa jadi baik kok" ujar Karib menyelipkan harapan.


Pendapat serupa juga dilontarkan oleh Wani, Mahasiswa tingkat akhir Fakultas Hukum UGM. Wani mengungkapkan bahwa semua anak jalanan memiliki bakat unik. “Bahwa bakat anak jalanan yang difasilitasi akan memperbaiki kualitas hidup mereka.” ujar Wani. Pengakuan Wani dan Karib ini memang menyelipkan harapan bagi anak jalanan.


Harapan Wani dan Karib membenarkan survei yang dilakukan oleh Christian Children Fund terhadap sejumlah anak jalanan. Menurut CCF, 70 persen anak jalanan yang mereka wawancarai masih memiliki mimpi untuk menyelesaikan bangku sekolah. Sementara itu, 60 persen anak jalanan masih bermimpi untuk meninggalkan jalanan. Namun stigma memang sudah terlanjur menjadi diskriminasi. Alhasil, kesempatan anak jalanan untuk melanjutkan kehidupan normal dibayang-bayangi dan dihambat stigma masyarakat.


Stigma adalah perlakuan yang terlalu menghakimi bagi anak jalanan. Dengan stigma, anak jalanan secara tidak langsung telah dikeluarkan dari struktur masyarakat. Anak jalanan kemudian dilihat sebagai makhluk asing atau ekses sistem sosial yang sebenarnya tidak diharapkan kehadirannya. Padahal, jika ditelusur lebih dalam, anak jalanan bagaimana pun juga adalah anak-anak, dan stigma telah berperan sebagai pembunuh karakter bagi mereka. Stigma yang melekat dalam jangka waktu panjang akan mengalami internalisasi, sehingga korban stigma pada akhirnya akan melihat dirinya sejalan dengan stigma yang ada padanya. Begitu pun anak jalanan, yang notabenenya masih berada dalam usia perkembangan menuju kedewasaan.


Bagi masyarakat, stigma yang berkembang akan mempengaruhi respon masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan. Lebih jauh, program dari berbagai LSM pun akan tersendat ketika masyarakat enggan berpartisipasi. Sementara itu LSM pun kerap menggiatkan kegiatan yang hanya bertitik tolak dari pemahaman stigma yang sempit dan hanya bertujuan memperbaiki pandangan negatif masyarakat. Di sisi lain, stigma juga mempengaruhi respon anak jalanan terhadap berbagai program yang dijalankan. Setidaknya, penolakan dan ketidakpercayaan adalah respon standar anak jalanan.


Berbeda dengan Wani, Asri berpendapat lain. Menurut mahasiswa Psikologi UGM ini, anak jalanan muncul salah satunya karena eksploitasi orang tua. "Makin banyak anak jalanan, karena makin banyak orang 'murah hati', yang membuat orang tua mereka mengeksploitasi itu" kata Asri. Pendapat Asri ini kemudian dibenarkan oleh Slamet, penarik becak yang sudah hampir 15 tahun mangkal di perempatan pingit. Menurut Slamet, beberapa orang tua sering terlihat menunggui anaknya mengemis di perempatan. “Bahkan ada juga yang bapaknya punya motor bagus tapi anaknya disuruh ngemis” kata Slamet[1].


Di jalanan, banyak para pengguna jalan yang kesal terhadap keberadan anak jalanan. “Mereka mengganggu lalu lintas. Anak-anak jalanan yang masih kecil menjadikan jalan sebagai tempat bermain. Jika tertabrak lalu pengguna jalan yang disalahkan” ujar Wakijan[2], seorang tukang becak tua di Jetis. Menurut Wakijan, kecelakaan memang sudah terjadi beberapa kali di perempatan tersebut.


Pengguna jalan seperti Slamet dan Wakijan mungkin sudah tidak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Menurut Slamet, beberapa anak jalanan yang masih kecil memang sengaja diperalat orang tua untuk mencari uang. “Biasanya mereka ditunggu orang tua” ujar Wakijan. Keadaan ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat anak-anak hakekatnya memiliki hak untuk penghidupan dan pendidikan seperti yang tertulis di Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia sejak Oktober 1989. “Mereka hanyalah korban orang tua yang tidak bertanggung jawab” ujar Wakijan menyesali keadaan.


Sebagai tukang becak, Slamet mengungkapkan kekesalannya terhadap anak jalanan yang beranjak dewasa. Hal ini beralasan karena sebagian besar anak jalanan yang beranjak dewasa kemudian menjadi preman. Slamet menyayangkan otak dan tenaga kuat mereka yang sebenarnya bisa dipakai untuk memperbaiki hidup. “Anak muda yang berpikiran sehat pasti memikirkan jalan bagaimana keluar dari jalanan” ujarnya.


Menurut Slamet, sudah menjadi pemandangan umum di Pingit jika setiap malam preman-preman nongkrong menghabiskan waktu mereka. “Mereka hanya luntang-lantung ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Mereka hanya senang hura-hura. Jika ada uang lebih, mereka minum-minum, lalu masyarakat pun terganggu” ujar Slamet yang mulai jengah terhadap keberadaan anak jalanan.


Perbedaan umur memang kadang kemudian menjadi pembeda karakteristik anak jalanan. Anak jalanan yang masih kecil memang memancing simpati sebagian masyarakat. Seperti diungkapkan Asri, anak jalanan kecil tampak sebagai korban tidak bertanggung jawabnya orang tua. Sementara itu, keberadaan anak jalanan dewasa terkadang memunculkan kekesalan tersendiri. Seperti pengakuan Slamet, anak jalanan dewasa hanya memperlihatkan kemalasan.


Stigma masyarakat terhadap keberadaan anak jalanan bukanlah tak beralasan. Pengakuan beberapa orang telah menegaskan stigma anak jalanan. Akan tetapi, benarkah anak jalanan adalah anak nakal, kotor, susah diatur, korban orang tua, dan sampah masyarakat?



[1] Slamet – parsidi – tukan becak pingit 1970, temanggung, 15 tahun mbecak

[2] Wakijan – tukilan tukang becak jetis, 1943, gunung kidul, 30 tahun menjadi tukang becak

The Way They Bounce Back


"Once you label me, you negate me" Søren Kierkegaard

Today is quite a day for Ratih. She and her friends will be performing a unique musical performance in Taman Pintar; plainly but in creative sense called Musik Kaleng Rombeng. Ratih joins the rehearsal at the back yard of her school SDK Mangunan –a school best known and praised for its different approach in educating school kids thanks to its founder Romo Mangunwijaya.

With great enthusiasm and bashful smile, Ratih recites their singing, Ondel-Ondel and Cublak Cublak Suweng. They say they will meet and on stage with Dik Doank in Taman Pintar and seeing a public figure in real version is a lot for Ratih. The teacher interrupts and asks them to sing and gyrate to the music –only to make Ratih and her friends go blushing. Nothing, not even a slightest clue leads one to infer that Ratih was a street girl a month or so before.

Ratih is not the only one there. Introducing, Adhi and Kido who are already back to school a year ago. The boys and Ratih are in their 5th grade this year. This might be meaningless for many of us who regard schooling is no challenging matter, so predictable it is we take for granted all the process one must gone through to pass a semester. But for Adhi and Kido, a year pass in a school is a remarkable story (though they still have so many years to complete compulsory education).

Kido for example had to live and move from street to street for years before met his life-changing opportunity that is back to school. Having lived years practically without education, Kido had to work out his lacking of knowledge compare to that of his other classmates. Not a brilliant student but he managed to prove himself and was able to rose to the middle rank of his class.

According to Adhi and Kido’s former teacher, Bu Rumei, the kids were by no means a trouble for her. Different from her expectation, the boys were far away from wild adjective, even at first they seemed to be timid and in a closet. When being asked, Adhi who once cried in the first week of school, answered simply that he was ashamed especially for his background on the street. He saw himself in a negative way, pretty much similar with those stigmas labeled by people –wild, unworthy, dirty, no future and whatsoever-. The longer you live with those stigmas stick to your face, the deeper you internalize them, and the more you believe you are what they say you are.

Not all the stories are heartwarming. Nesa, for example had gone through series of in and out schools and counsellings, only to return to the street –a place she said to be where she belongs-. She was yearning for freedom she experienced on the street. Could it be that the freedom she longed for is nothing but free from internalized stigma? “I am different. I don’t fit in the school. I was once free but in school they tried to put rules on me. In the street, the kids don’t care of what people said” she said. Sometimes the victims can turn the sense of labels upside down to become their own pride and justification.

So what can be done to make a successful school-comeback for street children? From her experience, Bu Rumei mentions several important points. The first is no other than self-will from the kid. Going back to school isn’t something we cannot force unto them. The initiative might come from outside but the kid has to believe that going back to school is their ticket for a better life. Bu Rumei finds it in Adhi and Kido. It is their self-will that would encourage them to survive the process. Next is the cooperation between the host or promoter (sanggar) and the school. School must be equipped with sensitivity to take into account the kid individual characteristic and be ready to give a comprehensive personal approach, equal with other children. While the host or promoter must be prepared to help the kids coping with the lost years that supposed to be spent in house not on the street. Good communication between the promoter and school and regular supervision are also a must.

The good news is their street background doesn’t necessarily bad. It turns out that other kids are attracted to them since they have musical ability such as playing guitar and singing, thanks to years of “mengamen”. The teacher also considers them to have more responsibility and independency, one step to great leadership. This might be the reason why all the three are selected to perform in Taman Pintar.

But as music plays both the major and the minor keys, school also brings the good and bad form of humanity. Although most of her friends in school are kind and friendly, some still keep speaking ill of Ratih and turning their back against her. “I don’t know why. I always try to be kind to them but they keep hissing ‘street kid’ behind my back” Ratih complains. It’s probably nothing more than kids’ rivalry or some kids acting drama queen, but somehow it is quite an issue for Ratih. Maybe time will tell why, or maybe Dik Doank has the answer in Taman Pintar... maybe.

Little Girl on the Green

Little Rizky sleep on the grass

Amerasians, left in Philippines

Amerasian

Babay na sa adalah olokan yang sering dilontarkan ke anak-anak Amerasian. “Selamat tinggal, Ayah” begitulah kira-kira arti olokan tersebut. Terlahir dari ayah anggota militer Amerika Serikat di Filipina dan ibu asli Filipina, tak membuat hidup lebih baik bagi anak-anak Amerasian ini. Sebaliknya perbedaan ras yang mereka miliki menjadi sumber stigma yang harus mereka hadapi.

Saat ini di Filipina diperkirakan terdapat 52.000 anak-anak Amerasian yang tidak memiliki klaim atas ayah biologisnya di Amerika. Hampir seluruhnya hidup dalam kemiskinan. Sebagian besar hidup bersama ibu kandung mereka yang merupakan pekerja seks komersial. Yang lain tak lebih beruntung, mereka hidup sebatang kara karena banyak wanita yang mengandung anak Amerasian membuang anaknya segera setelah dilahirkan. Stigma yang dilekatkan pada ibu dan anak tersebut membuat mereka sulit untuk memiliki hidup yang berkualitas.

Kemiskinan yang parah menyebabkan hampir seluruh dari mereka turun ke jalan. Dengan begitu, anak Amerasian adalah 1/5 bagian dari 250.000 anak jalanan di Filipina. Data ini dikeluarkan oleh Pemerintah Filipina. Sementara banyak lembaga non pemerintah memperkirakan ada lebih dari 1 juta anak jalanan di negara dengan populasi mencapai 84 juta jiwa. Hingga hari ini, Filipina memang negara yang memiliki populasi anak jalanan terbesar di Asia Tenggara.

Anak-anak Amerasian terkonsentrasi di daerah-daerah yang dulu dijadikan basis militer AS terutama masa Perang Vietnam hingga kira-kira tahun 1995 (pangkalan militernya resmi ditutup pada tahun 1991) seperti Olongapo, Angeles, Clark, dan Subic Bay. Kota-kota ini termasuk kota yang tinggi tingkat eksistensi anak jalanannya. Tidak ada dari anak-anak ini yang mengenal ayah biologisnya dan sebagian besar dari mereka tidak akan pernah mengenal ayahnya.

Berada di jalanan dengan warna kulit dan tampilan fisik yang berbeda membuat anak-anak Amerasian rentan terhadap stigma dan perlakuan diskriminatif. Jika keadaan anak jalanan di Filipina saja sudah sedemikian buruk, maka anak-anak Amerasian mendapat perlakuan yang jauh lebih buruk. “Souvenir Babies“G.I Babies” atau “Half-baked Americans” adalah olokan yang sering diterima oleh anak jalanan.

Di antara anak-anak jalanan, anak Amerasian perempuan berkulit putih acap kali menjadi sasaran pelecehan seksual hingga pemerkosaan. Beberapa lagi masuk dalam kegiatan prostitusi yang akhirnya menciptakan siklus setan yang tak terputus. Sedangkan anak Amerasian berkulit hitam, seperti yang dialami saudaranya belasan tahun lalu di Amerika, juga sering menjadi sasaran diskriminasi dan kambing hitam. Terkadang mereka juga menjadi korban diskriminasi dari keluarga mereka sendiri di Filipina.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Filipina. Di Vietnam, Korea, Thailand, Laos, Cambodia dan Jepang (terutama Okinawa). Hanya saja, berbeda dari “saudara” mereka di negara lain, Amerasian di Filipina tidak memiliki klaim kewarganegaraan Amerika yang diatur melalui undang-undang. Dalam Amerasian Immigration Act disebutkan bahwa anak-anak yang lahir dari ayah Amerika di Cambodia, Korea, Laos, Thailand, atau Vitenam memiliki hak kewarganegaran Amerika dan hak berimigrasi ke Amerika. Filipina tidak termasuk dalamnya karena Filipina bukanlah daerah operasi militer dan bukan daerah perang.

Usaha untuk membentuk lembaga untuk membantu mensejahterakan dan mereunifikasikan anak-anak Amerasian di Filipina juga ditolak oleh Kongres Amerika. Alasan mereka didasarkan pada kenyataan Amerasian di Filipina adalah hasil prostitusi yang tidak bisa dijadikan klaim legal. Beberapa organisasi non profit berusaha memperbaiki keadaan mereka dengan membangun program santunan. Lobi yang dilakukan oleh PREDA Foundation misalnya berhasil mendesak US Aid Agency mengucurkan 2 juta dollar Amerika untuk perbaikan hidup anak-anak Amerasian. Namun, disinyalir oleh PREDA Foundation, hanya 650.000 dollar yang tersalurkan. Sehingga walaupun membantu untuk jangka pendek, program-program seperti ini sering kali tidak memadai dan tidak mencapai sasaran.

Miskin dan terabaikan, mungkin kata-kata ini yang tepat menggambarkan kondisi anak-anak Amerasian saat ini. Pun begitu, selalu ada harapan untuk kelompok-kelompok terpinggirkan seperti mereka. Salah satunya seperti yang diberikan oleh Microsoft Corp. Microsoft memberikan beasiswa total 5 juta peso bagi Amerasian yang membutuhkan. Selain itu, kebijakan diskriminasi positif juga sedang digodok oleh pemerintah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi anak-anak. Namun, untuk sementara agaknya sebagian besar dari mereka akan terus miskin dan terabaikan.

Little Street Boy

Grumpy Bagas

Little Street Girl

Little Rizky

What I've Been Thinking About Emancipation

These are some of the thoughts:
1.More female in more social role.
Our society to some extent needs a balancing approach in many aspects of life; which has been overly dominated by man culture. There are roles/jobs that are best done by women for their femaleness. Some jobs require accuracy over speed, content over ambition. Our bureaucracy needs to be more sensitive, more listening, more empathy. Again, is to balance, not to be dominating. Since woman generally has more femaleness that man, inevitably she will have a certain different approaches from what man has. But this is just a quick generalization; some men may have more of female strong points over women in common (that also work otherwise).

Yes, caring and nursing are probably more suitable for woman than man. Fighting and shooting are done best mostly by men. But, why not a female fire fighter if she meets all the requirements like strength, energy and others. And so what if a man being a nurse as long as he is capable of caring and treating.

2. We need a fair labor division
Every work needs person in charge of leading, and other to assist. It doesn't imply that a leader should be a man, and woman is only capable as an assistant of male leader. Sometimes I think we've been too long underestimating the capability of women as well as underestimating the role of assistants. Both, woman and man can take both crucial positions (since one role is nothing without the other). As long as they meet the expected result of the role.

3. Emancipation is not domination in disguise
This emancipation thing has feared men along history because they think they'll have their wives lying on the couch watching TV while they ended up in the kitchen sink. I, personally thing this shows how shallow their thinking is. But no.... I won't let my future husband does the dishes (OK... maybe sometimes). I know (like all woman knows) that most wives did the housekeeping better than their partners and husbands were good in plumbing and nailing things.

Just don't limit your expectations. If somehow you find your wife is better at painting the walls while you do perfect laundry, why not do what one best at?

4. Redefinition of so called “Kodrat”
One of comments I received from my previous notes is that Kartini aimed for educating women to do best in their duty as a woman, which are bearing and educating kids, cooking, and other housekeeping.

While I don’t want to argue about Kartini’s ideas and what she implied, I kind of annoyed by this sexist female-male duties.

First it implies that all woman; all of them should build own family, bear several kids, and hopefully dedicated their lives to raise good civilians. OK..... I myself want to get married, have kid one or two and raise them. But, not all women share my dream; that KB’s dream. Some women don’t want to have own family, don’t want to get married, don’t want to raise any too (ever or yet!). They just have different dreams that might be so peculiar, so odd that it is to be called “menyalahi kodrat”.

Think about nuns, think about hermits, think about persons like Mother Teresa, and think about some women of the church who committed to celibacy. Well, practically they are stepping out of so called woman ultimate duty. But no one ever condemned them since they are taking religious responsibility. You may say they are doing God’s business but again what we call God’s business is basically service; a public service. So how about a female environment activist who decided not to get married or have any child in order to dedicate her life for her work. She is contributing something for our society, right?! Just like those nuns.

What we perceived as Kodrat is sometimes misleading. The same can be applied to man. Is man ultimate duty is to be husband, father (biologically)?? Well, if the answer is yes then we must think over the roles like pastors, monks, and so on.

Kartini, riwayatmu kini...

Seorang teman mengajak saya untuk jadi tamu 'on air' di sebuah radio swasta Jogja. Temanya tentang perempuan atau wanita (sama sajalah kecuali anda seorang fanatik diskursus kajian budaya), menyambut Hari Kartini yang secara tak resmi (tak tertera di kalender) diperingati besok 21 April. Bingung karena bakal disandingkan dengan beberapa orang yang CV-nya lebih menjual dari saya dan hmm... mungkin suaranya jatuh lebih empuk di telinga pendengar. Namun, ok-lah sebagian dari saya berkata kenapa tidak?!

Hari Kartini... basi dan klise? Mungkin sekali, saya tidak bisa bilang tidak setuju. Hari yang telah dilumatkan hanya sebatas seremonial dan simbolisasi monoton tak berkembang. Yang paling sibuk di Hari Kartini adalah anak-anak TK setengah dipaksa berias dan berdandan ala ibu darma wanita dengan kebaya dan wiron. Yang laki-laki sama saja bedanya mereka memakai pakaian untuk laki-laki. Dan anehnya ini diamini sebagai upaya menanamkan semangat perjuangan Kartini. Sungguh tidak masuk akal. Selain anak TK, ibu-ibu pejabat juga akan sibuk membuat acara yang sama sekali tidak substansial dengan memakai kebaya baru tiap tahunnya. Demi memperingati Kartini katanya. Yang terlihat oleh saya hanyalah pameran dan kompetisi busana yang semakin mempertegas prejudis bodoh, wanita hanya bisa bersolek!!

Saya tidak anti bersolek dan tidak anti kebaya, nyatanya saya memakai kebaya di dua kali hari kelulusan. Perempuan perlu cantik, kenapa tidak. Tapi bukan "perempuan-perlu-cantik-saja" yang dewasa ini disempitkan dengan serangkaian indikator khas inferioritas negara bekas jajahan; putih, tinggi langsing, rambut lurus (sebagian diwarnai kebule-bulean), dada besar dan menonjol, hidung mancung, dan lainnya. Apa yang terjadi di Hari Kartini semakin memperkuat hal tersebut. Memang dia terbungkus nasionalisme, tapi lagi-lagi nasionalisme sempit dan sedikit munafik yang diwakili oleh kebaya dan baju adat lainnya. Kita kan sedang merayakan semangat Kartini bukan Bhineka Tunggal Ika.

Kartini memang dalam tiap foto yang kita miliki tentangnya memakai kebaya tapi karena di eranya, kebaya adalah pakaian sehari-hari, casual wear!! Hanya saja kita biarkan visual kita mendikte pikiran. O itu Kartini dalam kebaya, jadi memperingatinya haruslah dengan kebaya. Salah besar!!! Saya yakin Kartini tidak akan keberatan dengan perkembangan busana (mungkin dia sedikit mendukung pula karena memakai kebaya atau baju adat manapun sangat merepotkan). Dia pasti tak mengapa bila kita memperingati semangatnya dengan memakai jins dan kaos biasa. Perempuan bukanlah apa yang dipakainya bukan??

Hari Kartini... dari penamaannya saja hari ini sangat bertendensi mereduksi maknanya. Ok kita cukup bangga hanya ada satu nama pahlawan dalam hari-hari besar Indonesia dan itu dipersembahkan pada seorang perempuan. Namun, coba pikirkan betapa sempit kata Hari Kartini tersebut. Pikiran kita harus berpikir dua kali, mengingat Kartini lalu mengidentikannya dengan semangat emansipasi perempuan. Itu pun kalau Kartini mengaungkan itu di pikiran kita. Kebanyakannya yang pertama terlintas setelah mendengar Hari Kartini adalah imaji dan fotonya dengan sanggul dan kebaya Jawa dan ini terus menerus direproduksi dan dilatenkan melalui perayaan semacam tadi. Inilah akibatnya terlalu mengidolisasikan figur. Yang tertinggal hanya foto dan atribut bukan tulisan, bukan pemikiran.

Coba bandingkan dengan 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional adalah hari lahirnya Ki Hajar Dewantara dan tidak dinamai Hari Ki Hajar Dewantara, kalau tidak peringatan 2 Mei akan menjadi parade orang-orang memakai songkok. Atau 10 November sebagai Hari Perang di Surabaya bukan Hari Pahlawan, bisa-bisa semasa sekolah setiap peserta upacara diwajibkan memakai pakaian militer dan memanggul senjata. Bisa gawat, karena hari indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme semakin sempit menjadi hari indoktrinasi militerisme. Weleh...weleh...

Jadi, bagaimana seharusnya Hari Kartini itu menurut saya? Pertama, bagaimana kalau menyebutnya Hari Perempuan saja atau Hari Kesetaraan? Lebih kena sasaran, universal, mudah dimengerti, dan sulit dipusingkan dengan atribut-atribut tak penting (paling tidak sampai masyarakat kita kembali ke hobinya dengan simbol dan atribut). Kartini (lagi-lagi menurut saya) tidak akan keberatan bila namanya perlahan-lahan luruh seiring terserapnya citra dan ikonisasi dirinya dalam sebuah semangat emansipasi yang menebal.

Yang kedua, bagaimana kalau di tingkat TK, kita sudahi saja pemakaian kebaya dan parade pakaian adat itu? Pindahkan ke Hari Kemerdekaan (itu juga dengan catatan tanpa paksaan, namanya juga merdeka -jadi catatan juga untuk pakaian rapi lengkap setiap upacara 17 Agustus) atau buat hari lain, Hari Budaya atau apalah (lagi-lagi tanpa paksaan). Cukup anak-anak TK baik yang perempuan dan laki-laki mengikuti acara masak bersama, atau mencuci baju bersama, atau main bola bersama, atau memaku pigura bersama. Acara-acara yang bisa memusnahkan konsep pekerjaan dan gender role yang seksis dan diskriminatif.

Tingkat sekolah yang lain juga bisa menerapkan hal yang sama. Berkunjung ke dapur restoran misalnya, melihat begitu banyak koki berkelamin laki-laki atau mewawancarai ibu-ibu tukang parkir, mas-mas perawat, bencong, atau apalah. Banyak hal bisa dilakukan untuk meruntuhkan bangunan gender yang mengekang itu. Atau dari pada sekedar menghapalkan nama kumpulan surat-surat pemikiran Kartini, mengapa tidak membaca, menganalisis, mengkritisi, dan mengapresiasinya?

Sehingga, habis gelap terbitlah terang...

God and other things equal to it



Menyimak comment-comment manusia facebook di note adek saya Chandra, saya jadi ikut bertanya-tanya tentang Tuhan.

Susah-susah gampang memang mempertanyakan definisi Tuhan. Dengan apa kita menanyakannya? Karena pertanyaan pun sudah mendefinisikan. Kata tanya yang dimiliki manusia, semuanya berfungsi membatasi jawaban. Dengan membatasi jawaban paling tidak kita telah mendapat gambaran bahwa Tuhan bukanlah selain dari maksud kata tanya itu.

Tuhan itu apa? Berarti merujuk pada sesuatu/hal. Apa membatasi eksistensi. Tidak akan ada pertanyaan apa untuk sesuatu yang tidak pernah diketahui atau diimajinasikan manusia.

Tuhan itu siapa? Ini malah lebih jelas. Berarti Tuhan adalah person dan singkatnya memiliki personality atau karakter

Tuhan itu mengapa? Dalam pertanyaan ini berarti Tuhan adalah sebuah kausa (walaupun dari segi bahasa susah melogikakan pertanyaan ini)

Tuhan itu bagaimana? Bagaimana berfungsi utama menanyakan cara. Di sini Tuhan artinya sebuah proses atau kegiatan atau mungkin keadaan yang memerlukan jawaban deskriptif.

Tuhan itu kapan? Jelas, dengan pertanyaan ini, kita membatasi Tuhan adalah sebuah peristiwa

Tuhan itu di mana? God equals place. Ada yang bilang di surga, di atas sana, di jiwa ini (seperti kata Ebiet G Ade), di tiap benda (seperti yang diyakini agama-agama Timur).

Tuhan mungkin adalah topik perdebatan yang paling tua yang sampai sekarang masih diperdebatkan dan akan terus diperdebatkan. Bagi saya, perdebatan itu saja sedikit banyak sudah menjelaskan Tuhan. Hanya saja kita sedang mendefinisikan sesuatu yang dari awalnya kita anggap di luar manusia. Sang Maha. Untuk mendefinisikan maha, kita perlu sebuah maha konsep, maha kata, maha kalimat sehingga terbentuk the ultimate definition.

Sayangnya manusia hanyalah manusia, bukan maha tapi mere -belaka-, sehingga tak memiliki ke-maha-an yang lain. Dengan ukuran manusia, konsep manusia, kata manusia, kalimat manusia, yang relatif sekali itu, masing-masing kita mendefinisikan Sang Maha. Bayangkan saja anda harus meraba sesuatu yang luar biasa besar, tinggi, dan lebar (seperti sebuah pahatan di dinding raksasa). Yang bisa kita raba hanya sejangkauan kedua tangan kita.

Lalu bagi saya, jika semua hal dan eksistensi di semesta ini bermula dari titik kecil, bertumbuh, dan runtuh kembali ke titik terkecil, titik terkecil itu saya definisikan Tuhan.

Wisuda dan Pak Guru



Akhirnya saya lulus dan datanglah upacara itu. Wisuda kawan, wisuda. Wisuda berarti menghadapi tetek bengek yang sama sekali tidak esensial karena tanpa wisuda pun saya sudah lulus. It’s the ceremony thing. Wisuda sebenarnya bagi saya lebih berarti hajatan untuk membanggakan orang tua secara seremonial dan sekalian ibu dan bapak akan datang ke Jogjakarta. Maklum selama empat tahun di sini belum sekali pun disambangi keluarga.

Sedihnya, ibu saya terancam tidak bisa datang karena masih menunggu jadwal diklat untuk sertifikasi guru. Jadwalnya masih belum jelas dan bisa saja diumumkan beberapa hari sebelum hari wisuda saya. Jadilah saya gregetan menunggu dan berdoa tiap hari sembari mempersiapkan diri untuk kecewa ibu saya tak bisa datang. Buat ibu saya yang guru sertifikasi itu penting. Dengan sertifikasi itu ibu saya diakui secara profesional sebagai tenaga pendidik juga diakui dan diberikan hak-haknya terutama tunjangan profesi yang besarnya sama dengan gaji pokok.

Sebenarnya guru harusnya tak perlu menunggu dan melewati proses sertifikasi untuk mendapatkan pengakuan profesionalitasnya dan kontra prestasi yang selayaknya. Ibu saya termasuk beruntung, dia masih punya akses untuk mengikuti diklat sertifikasi. Dia juga beruntung menyandang gelar strata satu sehingga lebih mudah untuk mengikuti proses sertifikasi. Namun kemudian benak saya melayang ke ratusan mungkin ribuan guru yang hanya lulusan SPG (setara D3) atau malah hanya lulusan SMP dan SMA. Beberapa dari mereka ceritanya terdengar melalui media.

Miris melihat masih banyak pengajar yang bisa dibilang “mendadak guru” karena keterpaksaan keadaan. Sebuah potret pendidikan Indonesia yang carut marut. Ironis karena sering kali guru-guru dadakan yang mengajar karena keprihatinan ini justru lebih memiliki dedikasi daripada yang menyandang gelar-gelar keprofesionalan. Sulit membayangkan guru di pedalaman hutan Tapanuli yang aslinya adalah penjaga sekolah mendapatkan sertifikat pengakuan profesionalitasnya. Sementara itu begitu banyak guru terutama terutama sekolah negeri yang mapan di kota sebenarnya dedikasi dan profesionalitasnya perlu dipertanyakan dengan mudah mendapatkan sertifikasi. Tak bisa mengajar mungkin, tapi tak mau mengajar, seringkali ya.

Akan tetapi, cerita guru di Indonesia bukanlah sesederhana guru hitam dan guru putih. Ada guru abu-abu yang berdiri di tengah pragmatisme hidup dan dedikasi profesi. Mereka berjalan dengan mengkompromikan kedua hal tersebut. Seberapa condong mereka ke satu sisi itu relatif dan kembali ke interpretasi orang yang melihat.

Adalah Pak Din guru agama saya sewaktu SMA. Dia adalah guru yang paling intens berinteraksi dengan saya maklum saya gini-gini dulu sekretaris Persekutuan Pelajar Kristen di sekolah negeri yang paling bergengsi (karena banyaknya anak pejabat di sekolah saya) dan paling kacau balau di Medan(juga karena banyak anak pejabat). Dia juga adalah guru yang paling saya benci, yang saya paling tidak hormati di antara banyak guru lain yang saya juga tidak hormati (dulu saya arogan sekali tapi believe me I had good reasons for that). Bagi saya dia adalah simbol ketidakbecusan guru dan sekolah saya. Guru agama kok korup, kok mengeksploitasi murid, kok makan kas organisasi, dan kok kok lain.

Pak Din seringkali menggelapkan sejumlah dana yang dipasrahkan kepadanya. Tak ada rincian pengeluaran dan tak pernah bersisa. Padahal itu uang rakyat, persembahan anak-anak yang mengikuti ibadah. Pak Din juga acap kali mengeksploitasi organisasi kami demi mendapatkan rupiah. Pernah ketika kami akan mengadakan retreat dia memaksa kami menganggarkan dana untuk honorarium dia sebagai pendamping sebesar 500.000 atau dia tidakakan membubuhkan tanda tangannya sebagai pembina. Lima ratus ribu tidak sedikit mengingat selama empat hari tiga malam retreat itu berlangsung, dia tidak ada di retreat kami.

Saya kesal, ingin berontak, dan sekaligus tidak berdaya. Semakin sering saya berinteraksi dengannya semakin saya kehilangan respect dan semakin saya membencinya. Saya lalu bandingkan ibu saya yang juga mengajar setingkat SMA. Dia tidak pernah memakan uang apalagi memanipulasi apa pun untuk uang. Seringkali dia harus mengutang kepada salah satu paman pengusaha toko buku untuk asupan buku bagi murid-muridnya.

Saya ingat pernah suatu hari ibu saya yang hamil tua pulang naik becak membawa setumpuk buku-buku yang diikat tali. Buku-buku itu dari toko paman saya yang karena ikatan saudara memberi potongan harga yang lumayan. Sebenarnya buku itu tersedia di sekolah tapi harganya lebih mahal (which is confusing me) jadinya ibu saya mencari alternatif cara lebih murah menghadirkan buku untuk murid-muridnya. Buku itu akan dicicil oleh muridnya selama satu tahun ajaran tapi akhirnya selalu sama, hanya dua puluh persen dari muridnya yang akan membayar buku itu lunas di akhir tahun ajaran.

Saya ceritakan Pak Din ke ibu saya, berharap ibu menyetujui dan kami bisa sama-sama mengutuki pak guru saya itu. Alih-alih mengiyakan saya dan membandingkan dirinya dengan Pak Din, ibu malah menegur saya. Hidup guru itu susah, katanya. Gajinya sedikit sekali tapi tuntutannya tinggi.

Ibu saya menganalogikan gaji guru setara dengan gaji kondektur bis tapi dia harus rajin beli safari dan buku, makan di kantin yang lumayan mahal, belum lagi lipstik dan sebagainya, sementara kondektur bis tak perlu baju bagus dan buku. Guru berjuang dalam wadah yang juga menjual image dan citra pada tingkat tertentu dan tentu saja membangun citra perlu biaya.

Mendengar penjelasan ibu, saya lalu menelusuri riwayat Pak Din. Ayahnya juga seorang guru agama jadi rasanya profesi dia sebagai guru bisa jadi paksaan dari ayahnya. Sewaktu saya kelas tiga, Pak Din baru saja diterima sebagai guru tetap berpangkat IID, sebelumnya bertahun-tahun dia hanyalah guru honorer. Anaknya dua orang yang mungkin lahir dari pertimbangan ekonomis sementara itu istrinya seorang ibu rumah tangga. Ketika saya bertandang ke rumahnya, saya semakin terenyuh.

Rumah Pak Din kecil dan sempit. Anaknya yang juga adik kelas saya menempati ruang kecil yang disekat triplek sedangkan dia, istrinya dan anak perempuannya tidur di satu kamar yang kecil. Menurut pengakuan teman yang dekat dengannya, Pak Din tak pernah mengundang rekan-rekan gurunya datang ke rumah. Namun sebaliknya dia menyesalkan sedikitnya anak muridnya yang berkunjung ke rumahnya. Mungkin hanya di depan muridnya dia sedikit bisa tampil apa adanya atau mungkin itu suatu bentuk penghargaan murid yang dia harapkan?

Perlahan-lahan seiring kedewasaan saya, saya mulai memahami sikap Pak Din yang pragmatis dan oportunis. Saya juga tidak protes ketika ibu saya menyelipkan uang lima puluh ribu ke kantong Pak Din karena sudah menunggui proses ijazah saya. Saya juga tetap ingat permintaannya untuk membelikan istrinya daster dan saya menolak uang penggantinya.

Kehidupan kadang kali tak sesederhana yang kita bayangkan. Saya percaya ada begitu banyak jawaban dan alasan untuk pertanyaan kecil yang kita ajukan. Bagi saya Pak Din adalah cermin proses pelapangan batin untuk pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya tak seperti yang saya harapkan. Pak Din adalah cerita pergulatan seorang guru dalam hidupnya karena saya yakin alasan utama perilakunya karean dia juga ingin melihat anak-anaknya lebih baik dari dia, melihat anaknya memakai toga di podium ITB sana.

Divine Inequality

“No matter how a person strives for it, the conditions of life can never be perfectly equal. Even if by misfortune, such an absolute dead level were attained, there would still be inequalities of intelligence, which coming directly from God, will never escape the laws of man”

Alexis de Tocqueville


I would say I agree that there is such given inequality in life. Those who believe in the existence of God would say it is divine intervention or preordination while those who do not believe may say it is a matter of fortune.


Some people are born blind, others with incurable syndrome, so it is not just inequalities of intelligence but also physical inequalities, mental inequalities and other issues. These inequalities lead to inequalities of treatment from other people, society, and state. This in turn means different treatment, different chances, and different choices to some extent.


There are, however, situations and contexts in which people with different needs should be treated equal. For example, in a democratic election all citizens despite their race, gender or religion have the same right to vote. There are also other basic rights for every citizen that need to be fulfilled.


But to think of a community or society or state that gives equal treatment to every single one of its members, is a utopian idea. To imagine a state in which fire department recruits paralyzed citizens to be the fire fighters is somehow unacceptable. On the other hand government of states also need to make a positive or reverse discrimination towards disadvantaged groups inside society. Affirmative actions that favor some groups sometimes need to be adopted.


At the same time, what we perceive as equal treatment sometimes is misleading. To govern, every state needs simplification. The result of this simplification is categorization of citizens with regard to taxation, conscription, and other issues. Partly as a result of neglecting the very identity of its citizens. Thus a person with lower income may have to pay the same tax as person with higher income (it is more obvious in middle-class society).


The question is do we really need to achieve a perfectly equal life. Do we need to be treated equally by state? There is a hidden trap in the idealistic view of equal treatment because sometimes the best way to treat a person (even sometimes in socio-political context) is by considering his or her background and aspects of life. Besides that society also needs some degree of competition to increase the quality of life for all and to some extent, inequality encourages this competition.


In the end, the world has witnessed failed attempts from state to create perfectly equal communities. Former USSR and the Great Leap Forward in China can be reminders of how tricky and sometimes tragic it can be when a utopian equal society ideal taken into force.

The Riddle

Few days ago, I watched a movie, The Resurrecting of The Champ. Surpirisingly the movie was great. I didn't expect though Samuel L. Jackson plays on it. Bandit recommended it, so... it was a recommendation from person who watched LOTR 5 years afterwards.

But anyway, it moved me indeed. I'm starting to ask again the ultimate question. What's life after all? How do you want to spent you time on earth?

In that story, Josh Hartnett plays a mediocre sport journalist, Erci Keernan, who is shadowed by his father, a legendary radio journalist. Both, they specialized in covering boxing. Intimidated by his father leaving him and his mother alone, he grew up into a man obsessed to be an idealistic father. A hero in his son's eyes, Teddy.

It wasn't easy. He never got a shot until one day he met a bum who claimed to be a legendary boxer, Battlin' Bob Satterfield otherwise known as Champ. Eric befriended with him and wrote Bob's story

But just like Bob's saying, you'll never know when the next punch come, Eric's triumph ended too soon. Just days after his greatet achievement published, Eric found out that the guy he wrote about was a liar. Champ wasn't whom he said he was. He was Tommy Kincaid, nobody's boxer who had been impersonating Bob for years. Bob himself died 20 years before.

Eric's sky fell apart. He failed to be a hero for Teddy. He was a mere boaster. He built a big empty castle to gain Teddy's admiration and the story of Champ was his biggest lie.

To regain his integration and Teddy's trust, he wrote an apology, putting back the pieces of puzzle to where they supposed to be. It was hard but no other way.

So, again, what's life? We set up goals and put our best for those goals. Is life just a bulk of achievements you made during your life? Just like a where you run and jump over lots of poles or barriers and end up just exactly where you begin. It's feel like eating a piece of a cake time to time without ever knowing, ever seeing the whole cake, or even ever realizing why you eat the cake?

I always consider life as a journey. Now, I'm picturing nobody but myself at the edge of my path, the end of my travelling. Will I be satisfied? What kinds of regrets will I have? Will I ever know what on earth do my journey worth travelling for?

Well, in the end it's the only riddle that's matter. That no one knows till one finish the line. The riddle of life

Rashomon

Sewaktu saya berkesempatan mengikuti pertukaran pelajar selama setahun di Universitas Tokyo, Jepang, saya mengambil kelas Japanese Literature. Salah satu kegiatan kelas adalah menonton film yang pada waktu itu adalah film Rashomon karya Akira Kuroshawa. Untuk pertama kalinya saya menonton film ini walaupun berkali-kali film ini saya rekomendasikan kepada banyak pelanggan Sketsa, sebuah rental film tempat saya bekerja dulu.

Anyway, film itu bercerita tentang proses pengadilan tepatnya hearing process dan fact finding (legally context speaking) sebuah kasus pembunuhan seorang laki-laki dari kelas atas. Ada beberapa orang yang menjadi saksi. Tojamaru seorang perampok terkenal, istri korban, seorang tukang kayu yang kebetulan lewat (kalau tidak salah) dan si korban sendiri. Ya! Si korban sendiri atau tepatnya arwahnya.

Tojamaru, istri korban, si tukang kayu, dan arwah korban, mereka semua diminta untuk memberi kesaksian tentang peristiwa itu. Masing-masing punya versi sendiri dan tidak ada yang bisa membuktikan bahwa versi yang satu benar atau versi yang lain salah. Masing-masing kesaksian mereka berbeda di bagian yang mereka anggap penting. Bagian-bagian itu menggambarkan harga diri, kehormatan, dan integritas sesuai dengan interpretasi posisi sosial mereka masing-masing; perampok, lelaki bangsawan, istri bangsawan, dan seorang tukang kayu miskin.

Semua kisah ini diceritakan oleh si tukang kayu kepada dua orang temannya (salah satunya seorang biksu) di kuil Rashomon (kuil besar di Kyoto) waktu hujan deras. Tukang kayu bersikeras bahwa versi Tajomaru, istri korban, dan korban adalah bohong. Dia melihat semua kejadian dengan matanya sendiri. Singkatnya dia tahu kebenarannya dan karena itulah dia juga berbohong di pengadilan. Dia tahu seluruh cerita dan dia tahu ke mana perginya pedang kecil bermutiara indah milik istri korban. Ya… ke tangannya karena itulah ia berbohong di depan pengadilan.

Tiba-tiba suara tangis bayi menghentikan pembicaraan mereka. Seorang bayi terbungkus kimono mahal tergeletak di sudut kuil itu. Salah satu teman tukang kayu tadi dengan cepat segera bergerak dan merampas kimono mahal yang membungkus si bayi. Tukang kayu dan biksu marah dan mengutuk perbuatan si teman tadi.

Temannya tadi menjawab, "Apakah aku lebih buruk dari orang tuanya yang membuang bayi itu? Semua orang sekarang bertindak sesuai kepentingannya sehingga mereka bisa bertahan hidup. Kalau begitu apakah aku salah? Apakah aku lebih buruk dari kau, seorang pembohong dan pencuri? Kau apakan pedang kecil berharga itu, huh?!" Kira-kira begitulah perkataan si teman tadi. Lalu dia pergi meninggalkan biksu, tukang kayu, dan si bayi.

Tukang kayu lalu berusaha mengambil si bayi dari tangan biksu temannya. Tapi si biksu tak lagi percaya, pandangan matanya menyiratkan kecurigaan penuh.

"Anakku ada enam, satu lagi tidak akan masalah bagiku" kata tukang kayu. Raut wajahnya menyiratkan ketulusan. Pupuslah kecurigaan si biksu. Sembari minta maaf dia menyerahkan bayi itu ke tangan si tukang kayu.

"Aku memang orang yang terendah dari yang terendah" katatukang kayu. "Tidak, setelah bertemu denganmu aku melihat secercah harapan di dunia" begitulah jawab si biksu. Lalu si tukang kayu pun berlalu sambil menggendong si bayi disambut matahari yang kembali bersinar seusai hujan.

Itulah kira-kira inti dan akhir dari film Rashomon (di versi prosa, ending yang terakhir tidak ada. Itu semua hanya tambahan dari sutradara). Semua yang menonton film itu bisa mengerti bahwa di adegan terakhir tersebut sutradara ingin menyampaikan sebuah pesan. Pesan bahwa walau dunia memang buruk dan semakin buruk, kita masih punya harapan. Orang-orang tidak seburuk yang kita sangka dan mereka semua masih memiliki kebaikan di hatinya. Hujan deras pun akan selesai dan matahari pun akan bersinar lagi. Pesan itu sangat jelas tergambarkan di film tersebut.

Yang membuat saya shock dan kaget adalah seorang teman berkata bahwa dia tidak melihat adanya pesan seperti itu tergambar dalam film tersebut.

"Aku tidak melihat sutradara itu menyampaikan pesan tentang harapan di film tersebut. Semuanya kabur dan penuh dengan keputusasaan" katanya.

Saya kaget karena menurutku pandangan objektif manapun akan dengan jelas melihat pesan tersebut tergambarkan. Mengapa teman saya ini tidak? Apakah kesinisannya terhadap kebaikan manusia sedemikian menguasai dia? Bahkan optimisme yang sedemikian jelas tergambarkan pun bisa terlihat kabur bahkan hilang dari matanya? Apakah dia hanya berusaha melihat dari perspektif lain? Saya takut dan menggigil seperti ada hembusan angin dingin melewati tengkuk saya.

Seperti inikah sosok-sosok yang menghuni bumi ini sekarang? Bagaimana bisa berharap mereka melakukan kebaikan tulus dan memiliki harapan bila untuk mengenalinya saja mereka sudah tidak sanggup lagi. Di film sekalipun dimana pengembangan karakter, ruang, dan waktu yang dibatasi. Bahkan teroris dan bencana alam tidak semenakutkan kenyataan dingin ini.